Senin, 01 November 2010

Gambar Etika yang Telah di Sediakan




Etika Profesi Pengusaha Muslim


Nama: dyah indriyani
Nim: 1208

Etika Profesi Pengusaha Muslim

PostDateIconWednesday, 21 April 2010 08:25 | PostAuthorIconAuthor: novalachmad | PDFPrintE-mail
Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.

Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.

Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:

1. Shidiq (Jujur)

Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebu –di beberapa ayat– dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: "Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil". (Q.S Al An’aam(6): 152)

Firman Allah SWT:

"Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat kerusakan." (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)

"Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S Al lsraa(17): 35)

"Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)

Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan kepada seluruh ummat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lehih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar. Sehingga nampak pula bahwa adanya pengharaman serta larangan dari Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap dan tindakan yang begitu bijak yakni, pencegahan sejak dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang akan merugikan manusia itu sendiri.

Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, merupakan suatu perbuatan yang sangat keji dan culas, lantaran tindak kejahatan tersebut bersembunyi pada hukum dagang yang telah disahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau mengatasnamakan jua! beli atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh agama.

Jika penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, –sudah jelas– merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pedagang yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al Qur’an:

"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini." (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)

Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak –bagi orang-orang yang melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimhang dan mengukur barang dagangan mereka–, sesungguhnya Al Qur’an juga telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia dari Allah SWT, lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.

"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia berkata:"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (Q.S Al A’raaf(7): 85)

Firman Allah SWT:

"Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpang an di temnpat tinggalnya." (Q.S Hud(11): 94)

Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah. Sedangkan azab dan siksa serta hukuman bagi para pelaku kejahatan tersebut, nyatanya tidak selalu diturunkan Allah SWTI kelak dii akhirat saja, namun juga diturunkan di dunia.

Oleh sebab itu, Rasulullah SAW –dalam banyak haditsnya–, kerapkali mengingatkan para pedagang untuk berlaku jujur dalam berdagang.

Sabda Rasulullah SAW:

"Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan". (HR. Thabrani)

"Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila berbicara tidak berbohiong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak ingkar, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada -gada, bila mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak menyulitkan". (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)

"Pedagang dan pembeli keduanya boleh memilih selagi belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan terang-terangan, maka jual belinya akan diberkahi. Dan apabila keduanya tidak rnau berterus terang serta berbohong, maka jual belinya tidak diberkahi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang jujur dalam melaksakan jual beli, di akhirat kelak akan ditempatkan di tempat yang mulia. Suatu ketika akan bersama- sama para Nabi dan para Syahid. Suatu ketika di bawah Arsy, dan ketika lain akan berada di suatu tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke dalam surga.

Sabda Rasulullah SAW:

"Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid pada hari kiamat". (HR. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu Majjah)

"Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat". (HR. Al-Ashbihani)

"Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga". (HR. Tirmidzi)

Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):

"Aku yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang) selama yang seorang tidak berkhianat (curang) kepada yang lainnya. Apabila berlaku curang, maka Aku keluar dari mereka." (HR. Abu Dawud)

"Sesama Muslim adalah saudara. Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual barang yang ada cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat tersebut." (HR. Ahmad dan lbnu Majaah)

"Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan (cacat) yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacal) itu, tapi tidak menerangkannya." (HR. Baihaqie)

"Sebaik-baik orang Mu‘min itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara membelinya, mudah cara membayarnya dan mudah cara menagihnya." (HR. Thabarani)

2. Amanah (Tanggungjawab)

Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.

Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang, berniaga dan ataujual beli juga merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.

Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain: menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang oleh Islam –sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan tanggung jawab dan para pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.

Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan harga selangit sesuai keinginan penimbun barang, merupakan salah satu bentuk kecurangan dari para pedagang dalam rangka memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.

Menimbun barang dagangan –terutama barangbarang kehutuhan pokok– dilarang keras oleh Islam! Lantaran perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya, penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat oleh sementara pedagang akan menimbulkan atau akan diikuti oleh berhagai hal yang negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali, barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan kesempatan dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.

Ada banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang penimbunan barang dagangan, baik dalam bentuk peringatan, larangan maupun ancaman, yang .ntara lain sebagai berikut:

Sabda Rasulullah (yang artinya):

"Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai belas kasihan terhadap orang lain." (HR. Bukhari)

"Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin, Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra." (HR. Ahmad)

"Orang yang mendatangkan barang dagangan untuk dijual, selalu akan memperoleh rejeki, dan orang yang menimbun barang dagangannya akan dilaknat Allah." (HR. lbnu Majjah)

"Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang berdosa." (HR. Muslim dan Abu Daud)

"Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari tanggung jawab Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya." (HR. Ahmad)

3. Tidak Menipu

Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ii lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.

Sabda Rasulullah SAW:

"Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar". (HR. Thabrani)

"Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku". (HR. Bukhari)

Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Dan jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal.

Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.

Sabda Rasulullah SAW:

"Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah." (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)

"Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-kata, tidak akan melihat, tidak akanpula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. Abu Dzarr berkata, "Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku hertanya," Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim)

"Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus keberkah an". (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)

"Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang melariskan jualan tapi menghilangkan barokah (memusnahkan perdagangan)." (HR. Muslim)

Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan dan atau perniagaan di zaman sekarang –terutama di pasar-pasar bcbas– tidak banyak lagi diketemukan orang yang mau memperhatikan etiket perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap orang –penjual maupun pembeli– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, dimnana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: "Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram." (HR. Bukhari)

Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak hanya sekali saja Rasulullah SAW memberi peringatan kepada para pedagang untuk berbuat jujur, tidak menipu dalam berjual beli agar tidak merugikan orang lain. Sehagaimana pernyataan beberapa hadits di bawah ini:

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah seseorang menjual akan suatu barang yang telah dibeli oleh orang lain". (HR. Bukhari)

Dari lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia tertipu ketika berjual heli. Maka Nabi menyatakan: "Jika engkau berjualbeli maka katakanlah: Tidak boleh menipu". (HR. Bukhari)

4. Menepati Janji

Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.

Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi layanan puma jual, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.

Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah sebaik-baik pemberi rezki" (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)

Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan atau urusan jual beli yang sedang ditangani –sebagai pedagang Muslim– janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat. Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.

5. Murah Hati

Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.

Sabda Rasulullah SAW:

"Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak". (HR. Bukhari)

"Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah". (HR. Aththahawi)

6. Tidak Melupakan Akhirat

Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat.

Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.

Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam tempo dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka dapat terkenal di hampir seluruh penjuru dunia.


Etika Profesi Hakim Sebagai Bagian Dari Etika Profaesi Hukum Indonesi


Nama: Agus Setiawan
Nim: 12085300

ETIKA PROFESI HAKIM SEBAGAI BAGIAN DARI
ETIKA PROFESI HUKUM DI INDONESIA


A. Pengertian dan Sistematika Etika
Hakim – dimana dan kapan saja – diikat oleh aturan etik disamping aturan hukum. Aturan etik adalah aturan mengenai moral atau atau berkaitan dengan sikap moral. Filsafat etika adalah filsafat tentang moral. Moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas.
Sehubungan teori tentang etika, Darji Darmodiharjo dan Sidharta dalam bukunya berjudul Pokok-Pokok Filsafat Hukum menulis:
“Etika berurusan dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai teori (aliran) etika yang secara global bias dibagi menjadi dua, yaitu aliran deontologist (etika kewajiban) dan aliran telelogis (etika tujuan atau manfaat).”

Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika khusus selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Pembedaan etika menjadi etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh Magnis Suseno dengan istilah etika deskriptif.

Lebih lanjut Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan peranan suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Adapun etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.

Telah jelas, etika yang berlandaskan pada nilai-nilai moral kehidupan manusia, sangat berbeda dengan hukum yang bertolak dari salah benar, adil atau tidak adil. Hukum merupakan instrumen eksternal sementara moral adalah instrumen internal yang menyangkut sikap pribadi, disiplin pribadi yang oleh karena itu etika disebut juga “disciplinary rules.”

B. Etika Profesi Hukum di Indonesia
Dalam sistematika etika sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, menurut hemat penulis, dapatlah diketahui bahwa etika profesi termasuk dalam bidang kajian etika sosial yakni etika yang mebicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat masyarakat.

Lalu apakah yang dikatakan profesi itu sendiri? Dan bagaimana dengan kata bekerja, apakah berbeda dengan profesi? Profesi berbeda dengan pekerjaan. Sebelum kita mempersoalkan tentang tentang hakikat profesi, terlebih dahulu perlu diungkapkan bahwa manusia sendiri adalah makhluq yang senang bekerja. Pengertian berkerja di sini harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya dalam arti fisik, tetapi juga psikis.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta menyimpulkan bahwa bekerja merupakan kebutuhan bagi setiap manusia, khususnya bagi manusia yang memasuki usia produktif. Dengan bekerja manusia akan memperoleh kepuasan dalam dirinya. Semakin tinggi tingkat kepuasan yang ingin dicapai oleh manusia atas pekerjaan, semakin keras upaya yang diperlukan, dengan kata lain bahwa pekerjaan yang mendatangkan kepuasan yang tinggi itu menuntut persyaratan yang tinggi pula lalu semakin tinggi tuntutan persyaratannya, semakin psikis pula sifat pekerjaannya. Persyaratan-persyaratan yang dilekatkan kepada pekerjaan itu pula yang menyebabkan suatu pekerjaan mempunyai bobot kualitas berbeda dengan pekerjaan lain sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi persyaratan suatu pekerjaan maka semakin berkualitas pekerjaan tersebut. Nah, nilai kualitas pekerjaan yang tertinggi itulah yang disebut dengan profesi.
Beroep, sebagaimana yang dikutip oleh Bagir Manan, mengemukakan bahwa pengertian profesi atau profesional adalah suatu pekerjaan yang dilakukan secara bebas dan tetap untuk memberi pelayanan berdasarkan keahlian tertentu, dan menerima imbalan atas pelayanan tersebut.

Sementara itu Darji Darmodiharjo dan Sidharta mengemukakan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dan memiliki serta memenuhi sedikitnya 5 (lima) persyaratan sebagai berikut :
1. Memiliki landasan intelektualitas,
2. Memiliki standar kualifikasi,
3. Pengabdian pada masyarakat,
4. Mendapat penghargaan di tengah masyarakat,
5. Memiliki organisasi profesi.

Lalu bagaimana dengan etika profesi hukum di Indonesia? Sekilas tampak bahwa pada umumnya etika profesi hukum di Indonesia terkait dengan apa yang disebut dengan intregated criminal justice system, yaitu sistem peradilan pidana secara terpadu yang melibatkan penyidik (polisi dan jaksa), penuntut umum (jaksa) dan hakim. Sehingga muncul anggapan bahwa Pengacara/advokat yang dalam praktek peradilan mempunyai peranan penting seakan berada di luar sistem dimaksud.

Anggapan tersebut terasa sangat janggal bila kita melihat realita kehidupan dunia praksis hukum di Indonesia. Oleh karena itu penulis sependapat dengan Darji Darmodiharjo dan Sidharta yang memaparkan bahwa profesi hukum di Indonesia harus diartikan secara luas meliputi semua fungsionaris utama hukum seperti hakim, jaksa, polisi, advokat/pengacara, notaris, konsultan hukum dan ahli hukum di perusahaan.

Semua profesi hukum di atas terikat dalam suatu aturan baik itu aturan normatif yang bersumber dari hukum positif yang berlaku maupun kaidah-kaidah etika yang tertuang dalam kode etik profesi masing-masing. Kode etik profesi tersebut dibuat secara internal oleh organisasi profesi dan ditegakkan oleh suatu badan kehormatan profesi yang dibentuk dari dan oleh anggota profesi itu masing-masing.

Mengenai hal itu, Bagir Manan menulis bahwa:
“Dalam bentuk yang paling murni, pekerjaan profesi sebagai pekerjaan bebas tidak terikat oleh suatu aturan hukum. Sebelum ada organisasi yang menjalankan kekuasaan pada masyarakat, pekerjaan menyelesaikan sengketa adalah pekerjaan bebas dan sukarela. Umumnya mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati karena pengetahuan dan kearifannya. Mengingat kemungkinan terjadi penyalahgunaan atau tindakan-tindakan tidak profesional yang merugikan maka diperlukan aturan disiplin yang dibuat dan ditegakkan sendiri oleh lingkungan masyarakat profesional yang bersangkutan. Aturan profesional yang dibuat dan ditegakkan sendiri ini disebut aturan etik atau kode etik. Dengan demikian, merupakan keganjilan yang luar biasa kalau ada lembaga yang mengikat lembaga lain. Namun, di masa kemudian, terutama di masa moderen tidak ada seseorang atau lingkungan atau suatu pekerjaan yang benar-benar luput dari aturan hukum. Semua kelompok profesi selain diatur oleh kode etik juga diatur oleh aturan hukum. Akibatnya dalam hal-hal tertentu terdapat tumpang tindih antara aturan etik dan aturan hukum.”

Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana dengan etika profesi hakim sebagai bagian dari profesi hukum di Indonesia sebagaimana akan dipaparkan berikut ini.

C. Etika Profesi Hakim
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, suatu kelompok profesi selain diatur oleh aturan etik/kode etiknya masing-masing, juga diatur oleh aturan hukum. Menurut Pasal 1 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim di Indonesia berada di Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang terdiri dari badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer dengan keuasaan mengadili bersifat absolut yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan tersebut dan diatur dalam undang-undang sebagai payung hukum masing-masing badan peradilan tersebut.

Sejatinya, hakim di Indonesia bertindak sebagai penafsir utama norma hukum yang masih bersifat abstrak generalis ke dalam peristiwa konkret yang terjadi. Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh ke dalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan untuk memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi. Ada beberapa unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan atas dasar kode etik adalah sebagai berikut:
1. Menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian profesional.
2. Menjaga dan memelihara integritas profesi.
3. Menjaga dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a. Taat pada ketentuan atau aturan hukum.
b. Konsisten.
c. Selalu bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola perkara, mulai dari pemeriksaan berkas sampai pembacaan putusan.
d. Loyalitas.

Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga disebut dengan Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim mempunyai 5 (lima) sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam masyarakat. Adapun lima perlambang sifat hakim tersebut tercakup di dalam logo hakim sebagai berikut:
1. Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.
2. Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai, tertib dan lugas, berpandangan luas dan mencari saling pengertian.
3. Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.
4. Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan, bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.
5. Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun, tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak berjiwa aji mumpung dan senantiasa waspada.

Etika Profesi Keperawatan


Nama: Novi yanti
Nim: 12085292




ETIKA PROFESI KEPERAWATAN


Etika khusus yang mengatur tanggung
jawab moral para perawat.
l Kesepakatan moralitas para perawat.
Disusun oleh Organisasi profesi, berdasarkan suatu sumber yang ada dilingkungan; baik lingkungan kesehatan, lingkungan konsumen dan lingkungan Komunitas Keperawatan.
Sumber Etika Profesi keperawatan :
1. Etika Kesehatan.
2. Etika umum yang berlaku di masyarakat,
3. Etika Profesi keperawatan dunia -> ICN.
Etika Kesehatan :
Menurut Leenen Gozondeid Sethick, adalah etika khusus dengan menerapkan nilai – nilai dalam bidang pemeliharaan / pelayanan kesehatan yang dilandasi oleh nilai – nilai individu dan masyarakat.
Menurut Soeyono Soekamto (1986), Etika kesehatan mencakup penilaian terhadap gejala kesehatan baik yang disetujui maupun tidak disetujui, serta mencakup rekomendasi bagaimana bersikap/ bertindak secara pantas dalam bidang kesehatan.
Etika Kesehatan mencakup ruang lingkup minimal al :
1. tritmen pada pasien yang menghadapi
ajal
2. Mengijinkan unsur mengakhiri
penderitaan dan hidup pasien dengan
sengaja atas permintaan pasien
sendiri,pembatasan perilaku, dan
infomrmed consent.
3. Bioetika
4. Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan
dalam bidang kedokteran.
Contoh penerapan :
ad.1 Tritmen pada pasien yang
menghadapi ajal :
- Pemberian O2 -> diteruskan / di stop.
- Program pengobatan diteruskan /
tidak
- Suport terapi ( RJP ) sampai kapan.
- dalam kondisi MBO.

Ad.2. Mengijinkan unsur mengakhiri
penderitaan dan hidup pasien
dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri,pembatasan perilaku,
dan infomrmed consent.
- Pasien teriminal
- Status vegetatif
- pasien HIV /AID
- pasien mendapat terapi diet
- pasien menghadapi tindakan medik
-> operasi, pemakaian obat yang
harganya mahal dll.
ad.3 Bioetika :
- aborsi, pembatasan kelahiran,
sterilisasi, bayi tabung, tranplantasi
organ dll.
ad.4 Pengungkapan kebenaran dan
kerahasiaan dalam bidang
kedokteran.
- permintaan informasi data pasien,
- Catatan medik,
- Pembicaraan kasus pasien.

Etika umum yang berlaku di masyarakat :
- Privasi pasien,
- Menghargai harkat martabat pasien
- Sopan santun dalam pergaulan
-> saling menghormati,
-> saling membantu.
-> peduli terhadap lingkungan
Etika Profesi keperawatan dunia -> ICN.
Etika Keperawatan terkandung adanya nilai – nilai dan prinsip – prinsip yang berfokus bagi praktik Perawat.
Praktik perawat bermuara pada interaksi profesional dengan pasien serta menunjukan kepedulian perawat terhadap hubungan yang telah dilakukannya.
Ada 8 prinsip utama dalam Etika Keperawatan ICN :
8 prinsip utama dalam Etika Keperawatan ICN :
1. Respek
2. Otonomi
3. Beneficence ( kemurahan hati)
4. Non-maleficence,
5. Veracity ( kejujuran )
6. Kridensialitas ( kerahasiaan )
7. Fidelity ( kesetiaan )
8. Justice ( keadilan )
Ad.1 Respek :
= perilaku perawat yang menghormati
/ menghargai pasien /klien.
-> hak – hak pasien,
-> penerapan inforned consent
= Perilaku perawat menghormati
sejawat
=> Tindakan eksplisit maupun implisit
-> simpatik, impati kepada orang lain.
ad.2 Otonomi :
= hak untuk mengatur dan membuat
keputusannya sendiri.
Tetapi tidak sebebas – bebasnya
-> ada keterbatasan dalam hukum,
kompetensi dan kewenangan.
-> perlu pemahaman tindakan kolaborasi.
ad.3 Beneficence ( kemurahan hati) :
= berkaitan dengan kewajiban untuk
melakukan hal yang baik dan tidak
membahayakan orang lain.
lanjutan :
Pada dasarnya seseorang diharapkan
dapat membuat keputusan untuk dirinya
sendiri , kecuali bagi mereka yang tidak
dapat melakukannya.
-> bayi dan anak
-> pasien koma
-> keterbelakangan mental / kelainan
kejiwaan.
Ad.4 Non-maleficence:
Prinsip -> berkaitan dengan
kewajiban perawat untuk tidak
dengan sengaja menimbulkan
kerugian / cidera pasien.
- Jangan membunuh
- jangan menyebabkan nyeri/
penderitaan lain.
- jangan membuat orang lain tidak
berdaya.
- Jangan melukai perasaan
Ad.5 Veracity ( kejujuran ) :
Kewajiban perawat untuk
mengatakan suatu kebenaran. Tidak
bohong tidak menipu.
Terutama dalam proses informed
consent.
Perawat membatu pasien
untuk memahami informasi dokter
tentang rencana tindakan medik /
pengobatan dengan jujur.
Ad.6 Kridensialitas ( kerahasiaan ) :
Prinsip ini berkaitan dengan
kepercayaan pasien terhadap
perawat. Perawat tidak akan
menyampaikan informasi tentang
kesehatan pasien kepada orang yang
tidak berhak.
Prinsip -> Info diagnose medik
diberikan oleh dokter.
Perawat memberi onfo kondisi
kesehatan umum.
Ad.7 Fidelity ( kesetiaan ) :
Ini berkaitan dengan kewajiban
perawat untuk selalu setia pada
kesepakatan dan tanggung jawab
yang telah dibuat.
Tanggung jawab perawat dalam tim
-> asuhan keperawatan kepada
individu, pemberi kerja , pemerintah
dan masyarakat.
Ad.8 Justice ( keadilan ) :
Berkenaan dengan kewajiban
perawat untuk adil kepada semua
orang .
Adil -> tidak memihak salah satu
orang. Semua pasien harus
mendapatkan pelayanan yang
sama sesuai dengan
kebutuhannya.
=> Kebutuhan pasien klas Utama
berbeda dengan kebutuhan
pasien klas III.
Etika Profesi keperawatan disususun oleh Oragnisasi secara tertulis

Etika Profesi Sebagai Pengajar


Nama:Dessy puspitasari
Nim:12085746
Etika - beasal dari kata Ethic dengan batasan yang bervariasi tergantung dari konteks yang ingin dibahas, namun demikian dapat dikemukakan beberapa batasan yang ada kaitannya dengan perilaku individu dalam satu organisasi yang menuntut untuk dilaksanakannya etika tertentu, seperti diuraikan dalam penjelasan berikut. Pengertian sebagai diutarakan oleh Hornby dalam Oxford Advaced Learner’s Dictionary of Current English (1985), “… system of moral principles, rules of conduct’. Selain itu dikemukakan pula oleh Morehead (1985), “…ethics, n. morals, morality, rules of conduct”. Lebih jauh dikemukakan oleh Morehead bahwa etika ini erat kaitannya dengan kewajiban dan tanggung jawab seseorang. Page & Thomas (1979) mengemukakan bahwa ethics, branch of philosophy concerned with morals and the distinction between good and evil. Kreitner & Kinicki (1998) mengemukakan bahwa : ethics involves the study of moral issues and choices. It concerned with right and wrong, good versus bad and the many shades of gray in supposedly black-and white issues.
Profesi dan profesional, profesi berasal dari kata profession, serta profesional berasal dari kata professional, yang mempunyai batasan bervariasi tergantung dari konteks yang ingin diungkapakan. Hornby memberikan batasan tentang: profession, n. occupation, esp one requiring advanced education and special training, eg the law, architecture, medicine, accountancy; … professional adj 1. of a profesion (1): ~ skill; ~ etiquette, the special conventions, form of politeness, etc asociated with a certain pofession: ~ men, eg doctors, lawyers. 2. Doing or practising something as a full time occupation or to make a living.
Batasan yang lain mengenai profesi dan professional diberikan oleh Page&Thomas (1979), seperti kutipan dibawah:
… profession, evaluative term describing the most prestigious occupations which may be termed professions if they carry out an essential social service, are founded on systematic knowledge, require lengthy academic and practical training, have high autonomy, a code of ethics, and generate in-service growth. Teaching should be judged as a profession on these criteria.
Dari batasan di atas maka dapat dikatakan bahwa etika profesi itu berkaitan dengan baik dan buruknya tingkah laku individu dalam suatu pekerjaan, yang telah diatur dalam kode etik.
Pengajar dan Mengajar
adalah dua istilah yang sulit untuk dipisahkan. Umpamanya dikatakan bahwa ia adalah guru yang baik apakah individu itu mempunyai karakteristik mengajar yang baik ataukah bertingkah laku yang patut diteladani. Mengajar adalah kata kerja yang biasanya dipakai dalam proses terselenggaranya kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok individu yang belajar, sedangkan pengajar adalah individu yang mendorong melakukan kegiatan tersebut, dimana keduanya bergabung untuk mencapai suatu tujuan biasanya di perguruan tinggi disebut dosen. Namun demikian pada umumnya pengajar yang baik biasanya dapat mengajar dengan baik.
Mengajar itu tidak hanya apa yang terjadi di dalam kelas tapi juga persiapan yang dilakukan sebelumnya dan penilaian yang dilakukan sesudahnya. Oleh sebab itu yang tercakup dalam mengajar yaitu persiapan dan juga penyampaiannya, memberikan fasilitas, ceramah, membimbing, mengarahkan dan kadang - kadang mendorong. Mengajar yang baik termasuk semuanya yang telah disebutkan tadi yang dikerjakan secara sungguh -sungguh. Kesungguhan ini tidak saja sebagai kesungguhan yang umum, tapi lebih bersifat pribadi.
Di peguruan tinggi, karena peserta didiknya adalah individu yang dewasa, maka mengajar di sini mempunyai tuntutan yang khusus. Tuntutan mengajar di perguruan tinggi kemudian berubah artinya dari “teaching” menjadi “scholar”. Prosesnya bukan lagi hanya memberikan sejumlah informasi tapi “sharing the exitement of learning” (Spees, 1989). Lebih jauh Spees menguraikan:
“ … The good teacher, then, is a scholar… A scholar is both - a person who is learned in a dicipline and one who is continuing to learn, continuing to grow. Too often the term scholar is reserved for the emeritius professor and/or connotes attainment rather than continuing efforts. The good teacher is never satisfied with yesterday’s or even today’s efforts. These are but what has been done. The good teacher constanly continnues to grow in both the discipline and in the art of teaching that discipline…”.
Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar itu tidak hanya mengajar orang lain tetapi juga mengajar diri sendiri, dalam arti bahwa pengajar juga turut belajar.
Banyak batasan yang dapat dikutip mengenai mengajar, namun Spees (1989) menjelaskan bahwa :
“…The good teacher is the scholar - teacher bounded by intentionality…. First, it means that in order to teach the person must have a teaching field - an academic discipline, a base of knowledge. The teacher must have information, knowledge, data.
Second, the teacher must have a desire to share these. Third, the teacher must have a commitment to learning. This commitment is twofold. It is a commitment to personal learning and a commitment to other’s learning”.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan yaitu:
- Agar dapat mengajar maka dosen harus mempunyai pengetahuan/ilmu yang akan diajarkan, biasanya disiplin ilmu yang sesuai dengan keahliannya.
- Dosen harus mempunyai itikad akan membagi ilmunya dengan yang lain.
- Dosen juga harus mempunyai komitmen bahwa ia juga akan belajar. Komitmen ini bemata ganda, yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Yang dimaksud dengan “learning” untuk dosen mencakup belajar tentang ilmunya, belajar tentang mahasiswanya masa kini serta mempelajari dirinya sendiri. Dalam arti bahwa apabila ia merasa bahwa cara ia mengajar tidak memadai maka akan berusaha untuk memperbaikinya.
Lebih jauh diuraikan bahwa guru yang baik itu tidak pernah dalam keadaan “bad faith”, dalam arti bahwa individu akan lari dari tanggung jawab dan membohongi dirinya sendiri.
Tidak ada satupun cara mengajar yang dapat diterapkan ke seluruh situasi mengajar karena begitu banyak cara mengajar. Istilah cara mengajar yang baikpun tidak dapat dikatakan baik untuk semua matakuliah. Selalu harus disertai “baik untuk apa” dan “baik untuk siapa” serta “bagaimana pelaksanaanya”.
Oleh sebab itu “cara mengajar yang baik” itu dapat diartikan cara mengajar yang tepat untuk tujuan tertentu dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi kelas. Cara mengajar itu adalah suatu proses yang melibatkan dosen dan mahasiswa yang akan bekerja sama menciptakan lingungan belajar, temasuk nilai dan keyakinan yang akan membentuk pandangan tertentu tentang kenyataan.
Tidak dapat dibatasi hanya mengenal satu cara mengajar yang baik karena tidak satupun model yang dapat memenuhi semua macam cara belajar. Banyak cara belajar memerlukan banyak macam cara mengajar.
Namun demikian biarpun tidak semua dosen mampu melaksanakan mengajar yang seperti diuraikan di atas, tapi dosen itu dapat mengupayakan agar proses mengajar menjadi suatu proses yang menyenangkan baik bagi dosen ataupun mahasiswanya serta dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Profesionalisme Pengajar
Hal penting yang harus diperhatikan dalam profesionalisme staf pengajar adalah diusahakan agar mereka merasa bangga akan profesinya sebagai pengajar. Walaupun kadang-kadang pekerjaan mengajar ini tidak dapat penghargaan yang sebagimana mestinya. Masih banyak yang beranggapan bahwa mengajar itu dapat dikerjakan oleh siapa saja. Mungkin anggapan ini ada benarnya dalam beberapa hal, namun mengajar yang bagaimana yang mereka lakukan. Adakah mereka mengindahkan tujuan yang ingin dicapai? Apakah mereka juga memikirkan mahasiswa yang harus didorong untuk mau belajar? Ataukah sekedar berdiri di depan kelas dan membicarakan sesuatu? Antara lain hal semacam inilah yang sebaiknya difahami oleh pengajar, sehingga diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tujuan institusi.
Secara umum mengajar yang baik itu memerlukan ilmu dasar untuk mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan bidang ilmu/keahlian individu. Yang diuraikan dalam makalah ini adalah mengajar secara umum, sedangkan keterampilan mengajar yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan keahliannya sebaiknya dibahas di masing-masing bidang profesi. Contohnya : Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) dapat merencanakan, melaksanakan dan mengevalusi pengembangan profesi staf pengajar ilmu eonomi, atau Persatuan Insinyur Indonesia (PII) untuk ilmu teknik, dsb.
Dalam hal ini perlu difikirkan ilmu dasar yang mana yang diperlukan sebagai dasar untuk mengajar agar mengajar dapat dikatagorikan dalam suatu profesi, menurut Shulman (Eric Digest, 1991): the professionalization of teaching depend on showing that teaching, like other learned professions, requires mastery of specialized body of knowledge that applied with wisdom and ethical concern. Lebih jauh ia mengemukakan: the knowledge base is a framework that consists of several different types of knowledge, including statement about valued ends and the methods used in evaluating or justifiying them.
Selain itu diuraikan oleh Office of Educational Research and Improvement (1991), untuk mendapatkan status profesional memerlukan ilmu sebagai ukuran/standar, pertanyaan tentang ilmu yang mana yang tepat untuk satu bidang profesi, perlu dipertimbangkan secara cermat oleh masyarakat profesi, tentang: (1) the types of knowledge required and relationship among categories identified, (2) conceptual frameworks for organizing and using knowledge and (3) the modes of inquiry used in creating and validating knowledge claims in the field. Hal ini berarti bahwa proses dalam menetapkan ilmu dasar adalah berkaitan dengan masyarakat, seperti kerangka konsep, serta norma untuk pertimbangan mereka dan diciptakan serta diciptakan kembali setelah penyesuaian dan pengembangan oleh masyarakat. Perubahan terjadi dengan wawasan dan penilaian melalui usaha bersama dari seluruh masyarakat. Walaupun biasanya pemimpin masyarakat memulai proses ini, tapi selalu mencari pengertian timbal balik di masyarakat. Sebagai implikasinya terhadap pendidikan dosen/pengajar dan pengajaran di perguruan tinggi perlu difikirkan lebih jauh karena memerlukan pendidikan yang lebih terarah tentang pendidikan tinggi untuk merumuskan ilmu dasar yang dipakai.
Ilmu dasar mana yang akan dipakai sebagai ukuran profesionalitas seorang pengajar tergantung dari kegiatan apa yang seharusnya dilakukan dalam mengajar. Pelaksanaan kegiatan itulah yang akan dipakai sebagai ukuran untuk menilai cara mengajar seseorang yang kemudian akan diukur dan dijadikan tolok ukur (standar) dalam penilaian profesi mengajar. Rumusan dari tolok ukur ini akan diperlukan untuk menilai sejauh mana pengajar itu memenuhi pemahaman ilmu dasar dan untuk pemberian sertifikat kepada mereka yang telah memenuhi standar tersebut. The National Board for Profesional Teaching Standards (1998) menjelaskan, badan ini mengidentifikasi dan menemukan bahwa pengajar yang efekif akan mendorong mahasiswa untuk belajar dan memperlihatkan sebagai seorang individu yang memahami ilmu pengetahuan tentang mengajar yang mendalam, terampil, berkemampuan dan menjalankan semua tugasnya sebagai pengajar dengan baik diperlihatkan dalam lima usulan seperti kutipan dibawah ini :
Ø Teachers are commited to sudents and their learning.
Ø Teachers know the subjects they teach and how to teach those subjects to students.
Ø Teachers are responsible for managing and monitoring students learning
Ø Teachers think sysematically about their practice and learn from experience.
Ø Teachers are members of learning
communities.
Lebih jauh diuraikan, bahwa :
a. Pengajar yang berhasil adalah mereka yang dapat menyampaikan keahliannya untuk semua mahasiswanya. Kegiatannya berdasarkan keyakinan bahwa semua mahasiswa dapat belajar. Dia akan memperlakukan mahasiswanya sama, namun mengetahui perbedaan mahasiswanya satu dengan yang lainnya, sehingga dapat memperlakukan mereka sama berdasarkan perbedaan yang telah diketahuinya. Dia akan menyesuaikan kegiatannya berdasarkan observasi serta tentang pengetahuannya akan minat, kecakapan, kemampuan, ketrampilan, ilmu pengetahuan, limgkungan keluarga serta huungan satu sama lainnya diantara sesama mahasiswa. Pengaar yang berhasil akan memahami bagaimana mahasiswa berkembang dan belajar. Dia akan mempergunakan teori kognisi dan intelegensi dalam kegiatannya. Dia sadar bahwa mahasiswanya akan berperilaku sesuai dengan kontek yang dipengaruhi budaya. Dia akan mengembangkan kemampuan kognitif dan menghormati cara mahasiswa belajar. Yang sangat penting adalah mendorong self-esteem, motivasi, karakteristik, bertanggung terhadap masyarakat, respek terhadap perbedaan individu, budaya, kepercayaan dan ras dari mahasiswanya.
b. Pengajar yang berhasil sangat memahami bidang ilmu keahlian yang akan diajarkannya dan menghargai bagaimana pengetahuan tersebut diciptakan, diorganisasikan, dihubungkan dengan ilmu pengetahuan lainnya serta diterapkan dalam dunia nyata. Dengan tidak melupakan kebijaksanaan dari budaya dan disipln ilmu, serta mengembangkan kemampuan menganalisa dari mahasiswanya. Pengajar yang berhasil akan mengetahui bagaimana cara menyampaikan ilmu keahliannya kepada mahasiswa. Mereka akan tahu mana yang sulit diterima oleh mahasiswa, sehingga akan menyampaikannya dengan cara yang dapat diterima. Cara mereka mengajar akan memungkinkan bahan ajar diterima mahasiswa dengan baik karena mempunyai srategi mengajar yang telah dikembangkannya sesuai dengan kebutuhan mahasiswa yang bervariasi untuk memecahkan massalah yang sesuai dengan kemampuan mahasiswa.
c. Pengajar yang berhasil, akan menciptakan, memperkaya, memelihara dan menyesuaikan cara mengajarnya untuk menarik dan memelihara minat mahasiswa dalam mempergunakan waktu mengajar sehingga mengajarnya efektif. Mereka juga akan memberikan pertolongan dalam proses belajar dan mengajar kepada mahasiswa dan teman sejawatnya. Pengajar yang berhasil akan tahu cara mana yang tepat yang dapat dilakssanakan sesuai dengan kebutuhan. Mereka juga akan tahu bagaimana mengatur mahasiswa agar dapat mencapai tujuan mengajar yang diinginkan serta mereka akan tahu mengarahkan mahasiswa untuk sampai pada lingkungan belajar yang menyenangkan. Mereka memahami bagaimana memotivasi mahasiswa termasuk bagaimana cara mengatasi apabila mahasiswa menemui kegagalan. Pengajar yang berhasil akan juga memahami kemajuan mahasiswa dalam belajar baik secara perorangan ataupun secara umum dalam kelasnya. Memahami bermacam-macam cara evaluasi untuk mengetahui perkembangan mahasiswa serta bagaimana mengkomunikasikan keberhasilan ataupun kegagalan mahasiswa kepada orang tua mahasiswa.
d. Pengajar yang berhasil, adalah model dari hasil pendidikan yang akan dijadikan contoh oleh mahasiswanya, baik keberhasilan dari ilmu pengetahuannya ataupun cara mengajarnya. Seperti, keingintahuannya, kejujurannya, keramahannya, keterbukaannnya, mau berkorban dalam mengembangkan mahasiswa ataupun hal lain yang berkaitan dengan karakteristik pengajar yang lainnya. Pengajar yang berhasil akan memanfaatkan ilmu tentang perkembangan individu, keahlian dalam bidang ilmu dan mengajarnya, serta tentang mahasiswanya dalam penilaian dan kepercayaannya bahwa cara inilah yang terbaik untuk dilakukann dalam proses mengajar. Untuk keberhasilan proses mengajarnya dosen/pengajar yang berhasil akan selalu memikirkan dan mengembangkan keberhasilan cara mengajarnya serta selalu menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan teori, ide, ataupun faktanya.
e. Pengajar yang berhasil, akan berkontribusi serta bekerja sama dengan teman sejawatnya tentang seluruh kegiatan yang berkaitan dengan proses belajar dan mengajar, seperti : pengembangan kurikulum, pengembangan staf lainnya selain pengajar, ataupn kebijakan lainnya dari seluruh institusi pendidikan. Mereka akan menilai perkembangan institusinya serta sumber lain yang tersedia dalam menunjang perkembangan pendidikan sesuai kebutuhan masing-masing. Pengajar yang berhasil selalu mendapatkan cara yang terbaik dalam berhubungan degan teman sejawatnya untuk produktivitas hasil pendidikan secara menyeluruh.
Dari kelima aspek inilah kemudian akan dikembangkan untuk dirumuskan tentang apa yang sebaiknya dilaksanakan oleh pengajar yang dapat dikatagorikan berhasil untuk kemudian disusun sebuah tolok ukur (standar).
Salah satu model yang dapat dipakai sebagai acuan dari pekerjaan sebagai pengajar seperti kutipan dibawah ini (Nana, 1997).
Pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan (PPS, 1990), sepuluh ciri suatu profesi :
(1) Memiliki fungsi dan signifikasi sosial
(2) Memiliki keahlian/keterampilan tertentu
(3) Keahlian/keterampilan diperoleh dengan
menggunakan teori dan metode ilmiah
(4) Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas
(5) Diperoleh dengan pendidikan dalam
masa tertentu yang cukup lama
(6) Aplikasi dan sosialisasi nilai- nilai
profesional
(7) Memiliki kode etik
(8) Kebebasan untuk memberikan judgement
dalam memecahkan masalah dalam
lingkup kerjanya
(9) Memiliki tanggung jawab profesional
dan otonomi
(10)Ada pengakuan dari masyarakat dan
imbalan atas layanan profesinya.
Lebih jauh diuraikan bahwa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980 (Nana, 1996) telah merumuskan kemampuan - kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu:
(1) Kemampuan profesional, yang mencakup:
a. Penguasaan materi pelajaran, mencakup bahan yang diajarkan dan dasar keilmuan dari bahan pelajaran tersebut.
b. Penguasaan landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan
c. Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran.
(2) Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar.
(3) Kemampuan personal yang mencakup :
a. Penampilan sikap yang positif tehadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan.
b. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogiyanya dimiliki guru.
c. Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya.
Selanjutnya Depdikbud merinci ketiga kelompok kemampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar, yaitu :
(1) Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep - konsep dasar keilmuannya.
(2) Pengelolaan program belajar - mengajar
(3) Pengelolaan kelas
(4) Penggunaan media dan sumber pembelajaran
(5) Penguasaan landasan - landasan kependidikan
(6) Pengelolaan interaksi belajar-mengajar
(7) Penilaian prestasi siswa
(8) Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan
(9) Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah
(10)Pemahaman prinsip - prinsip dan pemanfaatan
hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan
peningkatan mutu pengajaran.
Uraian yang dikemukakan Depdikbud ini kelihatannya untuk guru, bukan untuk dosen pendidikan tinggi. Namun demikian dapat dipakai sebagai accuan untuk mengkaji sifat - sifat yang ingin dirinci untuk pengajar dari perguruan tingi, karena sejauh ini belum ada ukuran untuk Indonesia yang berkaitan dengan profesionalisme dalam mengajar yang sudah baku, sehingga banyak di antara pekerja dari profesi lain juga melakukan menggajar.
Dengan demikian etika profesi pengajar sangat tergantung dari para pengajar sendiri, apakah menjadi kebanggaan sebagai pengajar ataukah hanya merupakan satu pekerjaan yang dapat dikerjakannya. Untuk hal ini maka urun saran selanjutnya akan disesuaikan dengan pengkajian pengajaran ilmu seni rupa yang sesuai dengan visi, misi dan tujuan institusional.